JAKARTA, (PR).- Kendati memberhentikan satu dekan dan dua dosen dari jabatan struktural kampus, Rektor ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Joni Hermana tidak mau perguruan tinggi negeri di Surabaya itu disebut kampus penyebar radikalisme.
Menurut dia, dekan dan dosen tersebut diduga terlibat organisasi Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai organisasi terlarang.
Joni mengatakan, ITS masih melakukan proses penyelidikan untuk membuktikan keterlibatan para dosen tersebut. Menurut dia, selama dalam proses penyelidikan, mereka tetap diperbolehkan mengajar.
“Atas kejadian akhir-akhir ini juga, kami tidak mau menjadikan para mahasiswa takut untuk mempelajari agama mereka sendiri,” kata Joni melalui siaran pers resmi dari Humas ITS, Selasa 15 Mei 2018 malam.
Joni menjelaskan, ITS belum memecat ketiga dosen tersebut sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Benar ada dugaan atas kasus tersebut dan kami sedang melakukan penyelidikan kepada mereka. Namun, dua dosen dan satu dekan tersebut statusnya tidak dipecat dari status PNS. Hanya kami berhentikan sementara dari jabatan strukturalnya, yang berkaitan juga masih mengajar di ITS,” ujar Joni.
Ia menegaskan, penyelidikan kasus tersebut terus dikomunikasikan dengan Menristekdikti Mohamad Nasir.
“Saya sudah komunikasikan dengan Pak Menteri (Menristekdikti) karena memecat seseorang dari status PNS-nya itu tidak mudah. Kami harus memeriksa pelanggaran tersebut, mengacu pada pelanggaran apa, itu harus detail,” papar guru besar Teknik Lingkungan itu.
Ia menuturkan, ITS sudah membentuk tim Bina Khusus untuk melakukan kajian lebih dalam terhadap dosen dan dekan ITS yang terlibat HTI.
Tim Bina Khusus itu terdiri atas wakil rektor, pihak dari biro hukum, para wakil dekan, dan beberapa ahli lainnya.
“Mereka akan menyelidiki kasus ini dan akan memberikan arahan kepada saya untuk selanjutnya saya usulkan kepada Pak Menteri,” ucapnya.
Sebelumnya, Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan akan menindak tegas pimpinan perguruan tinggi yang gagal membendung atau menyebar radikalisme di kampus.
Ia mengatakan, benih radikalisme di pendidikan tinggi terjadi sejak awal 1980 saat pemerintah menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK).
Kebijakan tersebut mewajibkan kampus terbebas dari panggung politik. Semua organisasi mahasiswa dibungkam sehingga mahasiswa tak punya kegiatan di luar jam kuliah.
Mohamad Nasir menuturkan, kondisi sepi kegiatan tersebut kemudian mulai disusupi kegiatan yang menebar paham-paham baru eksklusif.
"Jadi, radikalise di kampus tak hadir begitu saja. Sudah lama dan saya minta rektor terus memantau. Jika ditemukan indikasi (kegiatan) radikal, segera tindak dan lapor ke polisi. Saya berempati terhadap kejadian pemboman di Surabaya bahwa setiap kampus harus menjadi gerbang utama penangkalan radikalisme. Terorisme tidak ada hubungannya dengan agama apapun. Kalau sudah diduga dan terbukti ada dosen dan mahasiswa yang melenceng ke arah terorisme, laporkan segera ke kepolisian," ujarnya.***
http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2018/05/16/berhentikan-dekan-dan-dosen-rektor-tak-mau-its-disebut-kampus-radikal-424470Bagikan Berita Ini
0 Response to "Berhentikan Dekan dan Dosen, Rektor Tak Mau ITS Disebut ..."
Post a Comment