"STAIN belum ngatur. Kebetulan tidak ada yang bercadar. Aturan belum ada," kata Ketua STAIN Kudus, Mundakir ditemui Detikcom di ruangan kerjanya, Rabu (7/3/2018).
Menurutnya, cadar itu persoalan budaya. Misal, ke kampus sarungan, atau pakai celana pendek, saat di kampus tidak boleh pakai itu.
"Ya sama dengan itu. Jadi, qiyas atau analoginya seperti orang bersarung, celana pendek, pakai kaos oblong, itu kan ya memang tidak seharusnya ada di kampus," terangnya.
Mundakir mengatakan bahwa di Kudus mayoritas Islam tradisionalis, seperti di wilayah pantura Jawa Tengah lain. Karenanya, tradisional tidak mengenal yang bercadar.
"Tradisional ya pakai pakaian ala Islam Nusantara. Cadar bukan produk Islam. Tapi produk budaya di sebagian daerah di Timur Tengah. Tidak semua di Timur Tengah itu pakai cadar semua," imbuhnya.
Dia mencontohkan, di Arab Saudi banyak yang tidak pakai cadar. Wanita Arab tidak semua bercadar. Mereka pakai pakaian jilbab biasa. Dia menegaskan, cadar itu bukan budaya Islam. Islam itu subtansiya menutup aurat. Tentang bentuknya menutup aurat mau seperti apa, lanjutnya, itu diserahkan pada peradaban masing-masing.
"Kalau tidak pakai cadar, tidak Islam. Ya tidak begitu. Islam hanya mengatur supaya perempuan itu menutup aurat," ujarnya.
Bagaimana jika ada mahasiswinya kelak bercadar? Pihaknya siap melakukan pembelajaran tentang pemahaman Islam kepada yang bersangkutan di kelas.
Yakni tentang Islam Nusantara, itu dibentuk dari budaya Nusantara. Itu dianggapnya lebih mengena daripada langsung buat aturan larangan bercadar.
(sip/sip)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Begini Kata Ketua STAIN Kudus tentang Mahasiswi Bercadar di ..."
Post a Comment