Search

Menyoal Pelarangan Cadar di Kampus

Oleh Al Chaidar

PELARANGAN cadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu sangat kultural sifatnya. Tulisan ini mencoba melihat cadar dan pelarangan terhadap beberapa kampus secara antropologis. Cadar tidak diharuskan dalam syariat Islam. Bahkan ketika berhaji, cadar dan sorban harus dilepaskan, itu perintah ibadah.

Saya setuju dengan pelarangan cadar di UIN Yogyakarta. Itu adalah sebuah sikap berani tidak populer. Sekarang banyak orang tak berani melawan populisme. Populisme agama yang sekarang banyak mengemuka adalah sikap-sikap berlebihan dalam bersuci, ingin kembali ke “kemurnian asali” dalam berbagai ekspresi.

Secara antropologis, cadar --dan juga semua pakaian yang berlebihan yang dipakai oleh kaum agamawan manapun-- itu bersifat distingtif, menjadi simbol kejumawaan dan pemakainya ingin meneguhkan pendirian bahwa dia lebih agamis ketimbang yang lain. Mary Douglas (1966) seorang antropolog dalam bukunya Purity and Danger mengidentifikasi kekhawatiran akan kemurnian sebagai tema utama di jantung setiap masyarakat.

Dalam bukunya yang gamblang dan enak dibaca itu, dia menjelaskan relevansinya bagi setiap masyarakat dengan mengungkapkan dampak dari gaya hidup puritan yang luas dalam sikap kita terhadap masyarakat, nilai, kosmologi dan pengetahuan. Buku yang luar biasa ini, yang ditulis dengan sangat anggun, jernih dan gaya polemik, adalah interpretasi simbolis dari ajaran agama tentang kemurnian (puritanisme) dan polusi (najis).

Mary Douglas menunjukkan bahwa untuk memeriksa apa yang dianggap sebagai najis dalam budaya apa pun adalah dengan mengambil pendekatan looking-glass yang membentuk pola budaya untuk membangun. Pendekatan seperti itu memberikan pemahaman universal tentang aturan kemurnian yang berlaku sama dalam kehidupan sekuler dan religius, termasuk dalam masyarakat primitif dan modern.

Imunitas berlebihan
Bertebarannya najis dan hal-hal yang haram di dalam kehidupan sosial suatu masyarakat, membuat sebagian masyarakat resisten dan melawannya dengan imunitas berlebihan, seperti dalam kasus cadar. Bagi banyak masyarakat, perempuan adalah subyek yang harus didisiplinkan dan dikontrol sedemikian rupa agar tidak menimbulkan polusi dalam atmosfir kehidupan ini. Perempuan harus dibatasi dalam berbagai hal, termasuk dalam cara mereka berpakaian.

Regimentasi kekuasaan patriaki dalam masyarakat Islam di Arab adalah salah satunya cadar. Selain itu, cadar adalah pakaian tradisional Arab, bukan pakaian syar’i. Jika dikaitkan dengan radikalisme, itu sangat beralasan. Selama ini cadar dipakai sebagai simbol pembeda antara komunitas Islam biasa dengan Islam radikal. Para pemakai cadar juga merasakan adanya radikalisme dalam pakaian itu, semacam topeng yang membuat pemakainya berani.

Saya pernah bertanya ke beberapa mahasiswi yang memakai cadar di Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, mereka mengakui merasa radikal dengan cadar itu. Hal itu bisa jadi riya’ (eksebisionisme). Perempuan muslim dalam mazhab Syafi’i tidak harus bercadar. Mazhab Syafi’i adalah mazhab mayoritas yang harusnya dihormati oleh para pemakai cadar.

Para pemakai cadar bisa dianggap meremehkan mazhab Syafi’i jika mereka tampil beda (tasabuh) untuk memperlihatkan siapa yang paling puritan dan suci dalam beragama. Efek distingsi dari cadar itulah yang menjadi alasan kenapa UIN Sunan Kalijaga melarangnya. Mendisngtingsi diri, memcoba tampil beda dari yang lain, mencoba meneguhkan identitas puritan yang berlebihan itu justru akan mengganggu ketentraman sosial. Mazhab Syafi’i bahkan membolehkan hanya memakai kerudung saja. Tidak mewajibkan harus memakai jilbab dalam tampilan fashion yang seperti sekarang.

Let's block ads! (Why?)

http://aceh.tribunnews.com/2018/03/10/menyoal-pelarangan-cadar-di-kampus

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Menyoal Pelarangan Cadar di Kampus"

Post a Comment

Powered by Blogger.