Search

Menjaga Integritas Kampus - Lampost

KASUS pelecehan seksual masih saja terjadi di institusi pendidikan. Masih melekat dalam ingatan kita kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung Chandra Ertikanto terhadap mahasiswi bimbingannya.

Oknum dosen itu divonis Pengadilan Negeri IA Tanjungkarang selama 16 bulan penjara lantaran terbukti melakukan perbuatan asusila terhadap mahasiswi pada tahun 2018. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa selama 2 tahun bui.

Sanksi hukum ternyata tidak membuat jera para oknum akademisi. Baru-baru ini, mencuat kasus dugaan pelecehan seksual terdahap mahasiswi di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung. Terduga pelaku adalah dosen Sosiologi Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan Lampung, berinisial SH.

Oknum dosen itu disinyalir telah melakukan tindak asusila atau melakukan perbuatan tidak baik dan menyimpang dari aturan-aturan sebagai tenaga pendidikan kepada mahasiswi Jurusan Ushuluddin dan Studi Agama berinisial EP (21). Peristiwa terjadi pada 24 Desember 2018 lalu.

Perbuatan tidak senonoh itu mendapat perlawanan dari para mahasiswa hingga berujung aksi. Sejumlah mahasiswa menuntut oknum dosen diberi sanksi tegas oleh pihak kampus, bahkan jika perlu dipecat.

Kasus ini juga sudah dilaporkan ke Polda Lampung dengan nomor laporan LP/B-1973/XII/2018/LPG/SPKT. Pelapor mengaku memiliki data dan bukti-bukti terkait dugaan tindak pelecehan seksual sejak 2014.

Kasus ini bisa saja menjadi puncak gunung es dari kasus-kasus pelecehan seksual di institusi pendidikan. Diduga masih banyak korban yang tidak melapor dan meminta bantuan hukum lantaran lingkungan pendidikan belum menciptakan ruang yang aman bagi para korban.

Apalagi, kasus serupa pernah mencuat di UIN Raden Intan Lampung pada April 2015. Seorang dosen Fakultas Dakwah diduga melakukan pelecehan seksual dan plagiat.

Harus diakui, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kampus, bahkan hampir di semua instansi pendidikan. Kita sempat dikejutkan adanya sekitar 14 anak di salah satu ponpes di Lampung Selatan yang menjadi korban pelecehan seksual. Pelaku ternyata salah satu guru di sana.

Rentetan peristiwa ini kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana bisa guru dan dosen yang selama ini menjadi pengajar moral bisa melakukan perbuatan rendah.

Kampus sejatinya sebagai tempat berkumpulnya para intelektual seharusnya membuat banyak pihak merasa aman di dalamnya. Proses transfer ilmu dari pengajar kepada mahasiswa yang merupakan agen perubahan tidak semestinya menjadi gudang para predator mahasiswi.

Jika sampai terbukti SH melakukan pelecehan terhadap mahasiswi, aparat hukum maupun kampus mesti mengambil sikap tegas. Kekerasan seksual yang melibatkan tenaga pendidik haram hukumnya jika sampai diberi vonis ringan. Vonis rendah tidak memberi efek jera dan membuat kasus pelecehan terus berulang.

Undang–Undang Perlindungan Anak sudah beberapa kali direvisi dan revisi terakhir menghasilkan UU No 35 Tahun 2014 yang membuka ruang bagi jaksa serta hakim untuk menggandakan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual yang memiliki hubungan keluarga dengan korban, termasuk tenaga pendidikan.

Kampus harus disterilkan dari praktik perundungan seksual. Selama ini perguruan tinggi masih dinilai sebagai kawah candradimuka para pemikir besar. Jangan sampai integritas kampus dicemari mereka yang tunamoral.

loading...

EDITOR

Dian Wahyu

TAGS


KOMENTAR

Let's block ads! (Why?)

http://www.lampost.co/berita-menjaga-integritas-kampus.html

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Menjaga Integritas Kampus - Lampost"

Post a Comment

Powered by Blogger.