Search

Belacak Sigi Kampus Merdeka - Validnews

JAKARTA – Pendidikan tinggi di Indonesia menjadi ujung tombak untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu bergerak cepat dalam mengadaptasi perubahan dunia. Hal itu dapat teraplikasi melalui inovasi dalam pembelajaran, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Demikian yang diucapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim saat membuka peluncuran empat pokok kebijakan pendidikan tinggi, 24 Januari 2020, lalu. Kebijakan tersebut kemudian dinamai, Kampus Merdeka. 

Ada empat poin dalam program Kampus Merdeka. Pertama, otonomi pembukaan program studi (prodi) baru bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) terakreditasi A dan B. Kedua, re-akreditasi otomatis untuk semua peringkat dan bersifat sukarela bagi PTN dan PTS yang siap naik peringkat.

Kebijakan ketiga adalah memberi kebebasan PTN Badan Layanan Umum dan PTN Satuan Kerja untuk menjadi PTN Badan Hukum. Dan yang terakhir adalah memberi hak kepada mahasiswa untuk belajar dua semester di luar kampus, dan satu semester di luar prodi dalam kampus.

Adapun basis hukum dari kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

“Dari semua kebijakan, yang keempat ini yang paling penting karena dampaknya untuk negara kita saya rasa bisa terasa secara cepat, riil, dan secara masif,” kata Nadiem saat peluncuran empat pokok kebijakan Kampus Merdeka di Kantor Kemendikbud, Jakarta.

Di samping menjadi kebijakan favorit Nadiem, kebijakan keempat itu rupa-rupanya juga mendapat perhatian lebih dari masyarakat. Memberi hak belajar selama dua semester di luar kampus dan satu semester di luar prodi dalam kampus, merupakan latihan bagi mahasiswa untuk “berenang di laut terbuka”. Berenang yang dimaksud adalah meraih kompetensi atau ilmu pengetahuan, dan laut terbuka adalah dunia riil di luar kampus dengan segala persoalannya.

“Jangan cuma berenang di kolam renang karena kondisi laut itu sangat bervariasi. Sehingga, kenapa kita tidak juga melatih dia di dalam laut yang bebas. Di mana banyak sekali variability, banyak sekali kondisi untuk melatih kemampuan adaptif dia,” ucap Nadiem.

Adaptasi Model
‘Jari telunjuk’ Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam, terarah kepada disrupsi global dan perkembangan teknologi yang pesat, saat menjawab pertanyaan asal mula ide kebijakan ini. Pendidikan tinggi harus merespons fenomena itu dengan memperdalam dan memperluas kompetensi mahasiswa, dan pada saat bersamaan mendekatkan diri dengan dunia kerja.

Untuk menjadi seorang mahasiswa teknik yang bercita-cita membuat perusahaan kontraktor, Nizam mencontohkan, diperlukan juga bekal di bidang keuangan, komunikasi, atau antropologi. Di sinilah maksud dibuatnya hak mahasiswa belajar satu semester di prodi lain di dalam kampusnya.

Sementara untuk hak mahasiswa belajar dua semester di luar kampus, Kemendikbud merekomendasikan 8 macam kegiatan atau yang disebut dengan “menu”. Yang ditawarkan adalah magang/praktik kerja, proyek di desa, mengajar di sekolah, pertukaran pelajar, penelitian/riset, wirausaha, studi/proyek independen, dan proyek kemanusiaan.

Model Kampus Merdeka sejatinya bukan barang baru. Konsep ini sudah diterapkan di banyak negara berbagai benua. Namun yang berbeda adalah klaim bahwa hingga kini belum ada yang sekomprehensif ala Kemendikbud. Di Eropa, Nizam menjelaskan, pertukaran pelajar selama satu hingga dua semester justru menjadi kewajiban bagi mahasiswa.

“Misalnya, mahasiswa di Prancis dia harus mengambil satu semester sampai satu tahun (dua semester) di Italia. Mahasiswa Jerman harus satu tahun misalnya di Belanda,” kata Nizam kepada Validnews, Minggu (9/2).

Berangkat dari model-model di berbagai negara itulah, kemudian Kemendikbud mengadaptasinya yang disesuaikan dengan bentuk Merdeka Belajar sebagai core pendidikan era Nadiem. Dia mengaku tak tahu sejak kapan gagasan kebijakan ini muncul. “Karena saya bergabung juga belum lama di timnya Mas Menteri,” imbuhnya.

Tidak dapat dipastikan butuh waktu berapa lama perguruan tinggi bisa beradaptasi dengan kebijakan itu. Namun, Kemendikbud mendorong dengan cara mengkompilasi dan berbagi praktik yang sudah diterapkan satu sama lain antar perguruan tinggi. 

“Seperti pertukaran mahasiswa, magang di industri, itu kan sudah ada. Tinggal di-advance saja waktunya lebih panjang. Harusnya tidak terlalu sulit,” kata Nizam.

Hak 60 SKS
Dengan kebijakan ini maka mahasiswa hanya diwajibkan belajar di prodi asalnya selama lima semester. Tetapi yang harus juga diingat, total tiga semester di luar prodi dan kampus adalah hak. Artinya, mahasiswa boleh tidak menggunakannya, jika ingin belajar delapan semester penuh hanya di prodinya.

Satu semester yang digunakan mahasiswa untuk belajar di luar prodi maupun kampus setara dengan 20 Satuan Kredit Semester (SKS). Jadi, jumlah SKS maksimal yang bisa diambil mahasiswa adalah 60 SKS. Tetapi tidak saklek bahwa 20 SKS itu bisa diambil dalam satu semester penuh.

“Jadi bisa saja dia tidak dalam satu semester full 20 SKS. Tetapi juga bisa, misalnya, dalam satu semester dia mengambil 4 mata kuliah atau 8 SKS dari prodi lain, bisa dihitung seperti itu. Nanti di semester berikutnya dia mengambil lagi 3 SKS di prodi lain, itu dimungkinkan. Lama masa studinya itu dia punya hak sampai 60 SKS untuk mengambil mix and match,” urai Nizam.

Dicontohkan dalam magang, misalnya program kerja sama dengan industri A menyediakan satu semester penuh. Kemudian industri B hanya menyediakan masa magang bagi mahasiswa hanya 3 bulan. Rentang waktu magang itulah nantinya yang akan dikonversi dengan SKS.

Kemendikbud juga tidak menentukan di semester berapa mahasiswa bisa menggunakan hak 3 semester atau 60 SKS itu. Hal ini untuk memungkinkan perguruan tinggi punya banyak variasi, sebagai menu yang ditawarkan mahasiswa sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Dijelaskan, semua kegiatan mahasiswa dalam dua semester itu harus mendapat bimbingan dari dosen. Hal ini tidak akan memberatkan dosen karena selama ini sudah berjalan model, seperti magang, penelitian, ataupun pertukaran mahasiswa.

"Jadi misalnya mahasiswa mau magang di suatu perusahaan, selama di perusahaan itu dia akan mendapatkan kompetensi A, B, dan C. Kompetensi A itu dosennya adalah dosen A, kompetensi B dosen B, kompetensi C dosen C. Itu bisa tiga dosen yang tadinya mengajar mata kuliah A, B, dan C, sekarang dia berposisi sebagai pembimbing untuk magang di perusahaan X," jelas Nizam.

Konversi Kegiatan
Salah satu pertanyaan yang kerap timbul dari kebijakan ini adalah terkait cara mengonversi kegiatan di luar kampus menjadi SKS. Kementerian menguraikan, jumlah SKS bisa dihitung dengan ukuran waktu kegiatan belajar. Jadi hanya memindahkan waktu belajar yang selama ini di dalam kampus menjadi ke luar kampus.

Selain itu, untuk kegiatan seperti penelitian, proyek desa, wirausaha, proyek independen, maupun proyek kemanusiaan, mahasiswa juga bisa diminta membuat laporan rutin. Hasil akhirnya bisa sebagai syarat untuk mengonversi kegiatan itu ke dalam SKS.

“Akhirnya ya harus ada karyanya, hasil akhirnya. Atau misalnya dia mendesain robot, robot itu nanti kompleksitasnya seperti apa sampai setara dengan 20 SKS,” kata Nizam.

Dalam kasus kegiatan magang, bobot SKS harus disepakati antara pihak kampus dengan industri tempat magang tersebut. Secara karikatural, Nizam menggambarkan kegiatan magang A setara mata kuliah A dengan bobot SKS tertentu.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada mata kuliah yang hilang atau dikorbankan selama dua semester di luar kampus atau satu semester di luar prodi. Mahasiswa dianggap tetap bisa mendalami kompetensi sesuai dengan bidangnya.

Kemendikbud tidak akan membatasi mata kuliah apa yang bisa dikonversi dengan prodi lain atau kegiatan di luar kampus. Semua itu, kata Nizam, dikembalikan kepada pihak prodi atau perguruan tinggi masing-masing untuk menetapkannya.

Di samping itu, Kemendikbud juga tidak bisa memastikan industri pasti akan menerima mahasiswa magang dari semua perguruan tinggi. Industri disebut memang punya hak untuk melakukan seleksi atas mahasiswa yang akan diterima.

Pertukaran Mahasiswa
Pertukaran mahasiswa antar perguruan tinggi menjadi salah satu 'menu' belajar di luar kampus selama dua semester. Tapi persoalannya, muncul kekhawatiran terjadinya penumpukan mahasiswa di prodi dalam kampus tertentu.

Masalah ini bisa muncul lantaran prodi favorit di universitas tertentu menjadi incaran banyak mahasiswa. Tentu akan membingungkan, jika jumlah mahasiswa yang ingin belajar di sana melebihi kapasitas atau kuota seharusnya. Terhadap potensi ini, masing-masing perguruan tinggi bisa menetapkan kuota mahasiswa dari luar kampusnya untuk menghindari penumpukan tersebut.

Bisa saja, misalnya, perguruan tinggi tertentu memberi kuota 10% dari jumlah mahasiswanya, lalu ada yang 15%. Atau, kata Nizam, mungkin saja ada yang membuka kelas baru, kelas paralel, jika memang peminatnya sangat banyak.

Ada juga muncul kekhawatiran, perguruan tinggi 'besar' hanya ingin bekerja sama dengan perguruan tinggi 'besar' lainnya. Jadi, perguruan-perguruan tinggi 'kecil' akan tersisih. Menjawab hal ini, Kemendikbud mendorong sejumlah mekanisme, diantaranya pertukaran mahasiswa hanya bisa dilakukan antar perguruan tinggi yang masih dalam satu wilayah Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti). Kemudian, dengan kesepakatan prodi-prodi lintas perguruan tinggi terkait persyaratan-persyaratan pertukaran mahasiswa.Nah, kesepakatan antar-perguruan tinggi soal ini disebut Nadiem sebagai ‘kawin massal’, yang disampaikan saat peluncuran kebijakan Kampus Merdeka.

Siap Mengubah Kurikulum
Dalam berbagai pemberitaan diketahui bahwa sudah banyak kampus yang menyatakan diri mendukung kebijakan ini dan siap menerapkannya. Sikap ini terutama banyak diungkapkan oleh PTN.

Universitas Malikussaleh (Unmal) menjadi salah satu kampus yang menyatakan siap menerapkan Kampus Merdeka. Rektor Unmal, Herman Fithra, mengatakan, sebenarnya sejumlah kegiatan seperti pertukaran mahasiswa, praktik kerja, dan proyek di desa selama ini sudah dilaksanakan.

Tetapi hasil kegiatan itu kurang optimal. Waktu yang tersedia terlalu singkat, hanya sekitar satu hingga dua bulan. Dengan semakin panjangnya waktu kegiatan, dia berharap akan menyiapkan mahasiswa agar nantinya tidak gamang atau gagap setelah lulus dan memasuki dunia kerja.

Untuk itu, Herman mengatakan, Unmal sedang bersiap mengubah kurikulum agar sesuai dengan pembelajaran pola lima semester di prodi utama, satu semester di prodi lain, dan dua semester di luar kampus. Diharapkan semua proses ini akan selesai pada September 2020 sehingga konsep Kampus Merdeka ini bisa langsung diterapkan.

“Sekarang memang ada pertanyaan besar, apakah dunia industri secara masif siap menerima seluruh mahasiswa untuk magang? Apakah jumlah industrinya sanggup menampung kalau semua mau masuk ke industri? Maka kita harapkan jangan semua ke industri,” cetus Herman dalam perbincangan dengan Validnews, Selasa (11/2).

Unmal juga akan meminimalkan semua mata kuliah kompetensi dasar, seperti agama, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan kewirausahaan. Namun, kampus tetap akan membuka mata kuliah tersebut bagi mahasiswa yang memang masih ingin memperolehnya. Caranya, mendorong agar semua mata kuliah itu dipelajari di luar kampus.

Dicontohkan, mereka yang ingin belajar agama Islam, diperbolehkan untuk belajar di pesantren. “Untuk yang Nasrani silakan dia belajar di luar kampus yang mengajarkan tentang Nasrani, dan seterusnya,” ucapnya.

Sikap serupa disampaikan Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), Ganefri. Dia mengatakan kebijakan ini dapat mendorong perguruan tinggi untuk lebih banyak melakukan berbagai inovasi. Sementara keuntungan bagi mahasiswa adalah bertambah luas dan dalamnya wawasan yang bisa diperoleh.

Di era dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini, kata Ganefri, mahasiswa didorong untuk mengembangkan banyak keahlian. Kebijakan dua semester di luar kampus dan satu semester di luar prodi diklaim menjawab kebutuhan itu.

“Apalagi sekarang diberi kebebasan mahasiswa boleh mengambil satu semester mata kuliah di luar prodinya. Dengan kemajuan kompleksitas bidang keahlian hari ini dan skills yang dibutuhkan di industri itu selalu berubah dengan kemajuan teknologi ini. Tentu mahasiswa harus siap,” kata Ganefri kepada Validnews, Senin (10/2).

Menurut dia, setiap orang kini ditantang untuk terampil memecahkan masalah dengan multidisiplin ilmu. Seorang akuntan, contohnya, tidak hanya perlu terampil pembukuan atau audit, tetapi juga butuh wawasan informatika.

Ganefri mengungkapkan, UNP pun akan merevisi kurikulumnya untuk disesuaikan dengan kebijakan ini dan membuat sejumlah regulasi yang diperlukan. Di samping itu, dia mengaku siap menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi hingga industri. Kini, UNP sedang mengusulkan perubahan bentuk menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) agar semakin lincah memaksimalkan kebijakan ini.

Berebut Magang
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Budi Djatmiko mengatakan, secara garis besar kebijakan Kampus Merdeka telah mengakomodasi permintaan PTS. Walaupun dia menyayangkan lantaran pihak PTS tidak pernah diajak berdiskusi sejak Nadiem dilantik.

“Karena dalam membuat kebijakan Nadiem tidak melibatkan Perguruan Tinggi Swasta. Cuma dapat masukan dari kita saja, tetapi tidak mengajak duduk bareng, berpikir bareng,” kata Budi kepada Validnews, Senin (10/2).

Menurut Budi, kegiatan dua semester di luar kampus bagus untuk mahasiswa, tetapi tidak untuk dosen. Mahasiswa dapat pengetahuan yang lebih luas. Sebaliknya, dosen disebut akan kekurangan mahasiswa untuk diajar di kelas.

“Untuk magang, misalnya, enggak gampang juga. Magangnya di mana? Semua ingin di perusahaan multinasional, seperti di Toyota. Bisa menerima 2 juta mahasiswa? Kan enggak. Akhirnya nantikan berebut,” ujarnya.

Industri dinilai akan tetap memikirkan kepentingan produktivitas perusahaannya, sehingga tetap selektif memilih mahasiswa magang. Oleh karena itu, dia menegaskan Nadiem harus duduk bersama dengan, di antaranya Menteri Perindustrian, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Menteri Perdagangan untuk memberi insentif kepada industri.

Perlu Dimatangkan
Meski mendapat sambutan dari sejumlah perguruan tinggi, Komisi X menilai konsep kebijakan ini belum siap secara utuh. Anggota Komisi X, Ledia Hanifa Amaliah, mengatakan perlu adanya desain yang jelas terlebih dahulu mengenai implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, sebelum mahasiswa diberi kebebasan untuk belajar di luar prodinya.

Dia menilai, selama ini belum ada konsep yang jelas terkait hal itu. Sementara pendidikan di Indonesia tidak pernah mengajari anak-anak untuk mengenali potensi dirinya. Jangan sampai, sambung Ledia, mahasiswa di kemudian hari justru menyesali pilihannya.

“Kita harus betul-betul menyiapkan kira-kira konsepnya akan seperti apa? Memulai dari mana?” kata Ledia kepada Validnews, Minggu (9/2).

Di samping itu, Ledia meragukan Kemendikbud sudah memiliki instrumen teknis yang ajeg. Padahal, kerumitan juga menyangkut sistem manajemen yang berbeda-beda di setiap perguruan tinggi, untuk pertukaran mahasiswa. Di antaranya terkait absensi, transfer kredit SKS, kesiapan dosen, pembagian penugasan, dan biaya yang diperlukan.

Belum lagi akan berpotensi timbul kecemburuan sosial antara mahasiswa yang berkuliah di perguruan tinggi ‘besar’ dengan yang ‘kecil’. Menurut, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, komunikasi di antara perguruan tinggi perlu diselesaikan dulu.

Dia pun mempertanyakan penanggung jawab kebijakan ini. Hingga saat ini belum ada pejabat definitif untuk Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Ledia menegaskan bahwa harus tetap ada standar dan target yang disepakati, serta kompetensi minimum yang ingin dicapai.

Kekhawatiran yang sama juga diungkapkan peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Andy Ahmad Zaelany. Dia mengatakan, penerapan kebijakan ini kemungkinan terkendala pengawasan, sistem penilaian, biaya, dan lokasi yang sesuai dan mendukung bidang keilmuan.

Dia mengingatkan bahwa pendidikan S1 berbeda dengan vokasi yang bobot perkuliahannya lebih banyak praktik. Kemampuan analisis jauh lebih diperlukan oleh mahasiswa S1, terlebih jika untuk melanjutkan ke jenjang S2.

“Lulusan S1 bukan ditujukan untuk jadi tukang, tetapi perlu kemampuan atau daya analisis yang kuat. Sehingga perlu ilmu dasar yang kuat,” kata Andy kepada Validnews, Rabu (12/2).

Dia pesimis penerapan kebijakan ini bisa segera diaplikasikan. Ini mengacu pada waktu 4 tahun yang dibutuhkan untuk bisa menghasilkan lulusan dari konsep pendidikan yang baru. Boleh jadi konsep ini pun akan berubah di tengah jalan.

“Dalam era disruption maka bisa terjadi hal-hal baru di tengah perjalanan kebijakan baru. Oleh karena itu, menciptakan SDM yang agile, atau adaptif terhadap berbagai perubahan, itulah SDM unggul. SDM unggul bukan SDM yang hanya menguasai teknis-teknis pekerjaan saja,” tukasnya. (Wandha Nur Hidayat)

Let's block ads! (Why?)

https://www.validnews.id/Belacak-Sigi-Kampus-Merdeka-dUQ

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Belacak Sigi Kampus Merdeka - Validnews"

Post a Comment

Powered by Blogger.